Panen Duit dari Berkebun Sayur
SENIN, 12 MARET 2012 | 14:13 WIB
Sayur-sayuran. Chinanews.com
TEMPO.CO, Ciwidey - Kicau burung di tengah udara sejuk kampung Gambung, Desa Mekarsari, Ciwidey, Jawa Barat, menemani Riswati Wahyuni saat menengok perkebunan yang ia rintis sejak 2003 lalu. “Di sini kebun tomat saya,” ujar Riswati kepada Tempo saat berkunjung ke kebun yang diisi tomat-tomat merah siap panen miliknya, Sabtu, 10 Maret 2012.
Teh Neng--sapaan akrab Riswanti--memiliki beberapa kebun sayuran yang tersebar di desa tersebut. Dia mengaku sudah merasakan manfaat dari usaha bercocok tanam yang ia mulai dengan modal Rp 3 juta itu.
Awalnya Riswanti tidak pernah berpikir akan menuai sukses dari bisnis agrobisnis seperti sekarang. “Dulu saya cuma ingin berkebun, tidak kepikiran sampai seperti ini,” katanya.
Usaha yang didirikan wanita 28 tahun itu kini mampu bersaing dengan perkebunan lain untuk menyuplai sayur-sayuran di gerai-gerai retail modern di Ibu Kota. “Sekarang sudah ada sekitar 13 gerai yang kami suplai di Jakarta,” katanya semringah.
Teh Neng--sapaan akrab Riswanti--memiliki beberapa kebun sayuran yang tersebar di desa tersebut. Dia mengaku sudah merasakan manfaat dari usaha bercocok tanam yang ia mulai dengan modal Rp 3 juta itu.
Awalnya Riswanti tidak pernah berpikir akan menuai sukses dari bisnis agrobisnis seperti sekarang. “Dulu saya cuma ingin berkebun, tidak kepikiran sampai seperti ini,” katanya.
Usaha yang didirikan wanita 28 tahun itu kini mampu bersaing dengan perkebunan lain untuk menyuplai sayur-sayuran di gerai-gerai retail modern di Ibu Kota. “Sekarang sudah ada sekitar 13 gerai yang kami suplai di Jakarta,” katanya semringah.
Perjalanan bisnis Riswanti dapat menjadi contoh bagi para petani lain. Mengawali karier bisnisnya dengan menjual hasil kebunnya ke pasar-pasar tradisional dan induk, kini Riswanti bahkan dapat mengekspor hasil kebunnya ke berbagai negara, “Kemarin terakhir ke Singapura,” katanya.
Mengawali bisnis setelah keluar dari salah satu universitas di Garut, Riswati berusaha mencari penghasilan sendiri untuk membantu kedua orang tuanya. “Saya keluar karena ingin menikah,” katanya tertawa. Dengan modal Rp 75 ribu dia mulai menanam nangka, yang buahnya dijual kepada orang-orang di sekitar desanya.
“Waktu itu belum ada uang untuk membuka lahan,” katanya. Setelah memiliki tabungan sendiri, Riswati membeli sepetak lahan dengan modal Rp 3 juta yang kemudian ia tanami bermacam sayuran. Awalnya cuma sayuran lokal. Ia belum mengenal sayuran dengan bibit impor. Riswati juga belum tahu bagaimana cara bercocok tanam yang benar.
Setelah 3 tahun berjalan usaha bercocok tanam Riswati mulai berkembang. Saat itu dia mempekerjakan 4 orang untuk membantu mengelola kebun yang ia miliki. Waktu itu Riswati memiliki omzet hingga Rp 20 juta setiap bulan. “Dari pasar induk dan tradisional saya mendapat omzet tertinggi hingga Rp 10-20 juta per bulan,” katanya.
Namun pemasukan yang diterima Riswati tidak cukup untuk mengelola satu kebun, pekerja, dan menjadi mata pencarian untuk hidup sehari-hari. “Selain sulit, hama dan gagal panen juga sangat mengganggu,” katanya.
Riswati mengaku saat itu dia hampir putus asa mengembangkan kebunnya. “Lama-kelamaan merugi, saya cukup putus asa,” katanya. Namun pada 2006 sekelompok mahasiswa dari Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB) berkunjung ke desa Mekarsari untuk berbagi ilmu kepada penduduk desa.
Adalah Adityo Wicaksono, Siti Ruby Aliya Rajasa, dan Mandala Widi Muchlis yang memprakarsai gerakan tersebut, yang kemudian dikenal dengan Satoe Indonesia (SI). “Satoe Indonesia adalah gerakan kepemudaan yang didirikan oleh mahasiswa SBM ITB dan para alumnus,” kata Widi.
Dengan bekal ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan di bangku kuliah, Widi dan kawan-kawan berusaha membantu warga desa Mekarsari dalam mengembangkan potensi yang mereka miliki. “Kami fokus pada pengembangan bisnis dan pendidikan,” kata Widi.
Setelah setahun melakukan survei, ia menjelaskan, pada 2007, SI meluncurkan program pertamanya, yaitu mobil pintar. Minibus yang disulap menjadi perpustakaan berjalan ini mengelilingi Desa Mekarsari dan sekitarnya setiap hari. Membawa ratusan buku hasil sumbangan berbagai pihak dan pemerintah, mobil ini ramai dikunjungi anak-anak desa.
“Respons mobil pintar ini positif, kemudian kami lanjutkan dengan membangun rumah pintar di dua kampung,” kata Widi. Saat ini rumah pintar sudah dibangun di dua kampung, yaitu kampung Papakmanggu dan Gambung. Rumah pintar ini tidak hanya tempat belajar bagi anak-anak, tapi juga orang tua mereka.
“Di sini kami mengajarkan semua pelajaran yang anak-anak dapat di sekolah, lalu menambahnya dengan permainan, bahasa Inggris, Internet, soft skill, dan proses belajar-mengajar yang menyenangkan,” kata Adityo. Sedangkan untuk orang tuanya Adityo dan kawan-kawan mengajarkan cara berbisnis dan mengembangkan usaha.
Manfaat rumah pintar diakui Resti. “Di sini belajarnya menyenangkan. Saya jadi bisa bahasa Inggris, pakai Internet, dan membuka wawasan," kata gadis 12 tahun ini, "Sekarang saya mau melanjutkan pendidikan hingga lulus kuliah.”
Tahun ini SI bekerja sama dengan Bank HSBC meluncurkan program Ciwidey Pintar pada Sabtu, 10 Maret 2012. “Program ini adalah salah satu bentuk dari corporate social responbility yang bertujuan untuk mengatasi kurangnya sarana pendidikan pada usia dini,” ujar Head of Communications & Corporate Sustainability HSBC Indonesia, Maya Rizano, saat peluncuran Ciwidey Pintar di kampung Gambung.
“HSBC memiliki program HSBC Future First yang berfokus pada pendidikan dan pengembangan bisnis yang sudah dijalankan dari 2006 di berbagai negara. Sekarang kami lakukan hal tersebut di Ciwidey,” ujar Maya.
HSBC berharap, dengan program ini warga Ciwidey dan sekitarnya dapat berkembang dan mandiri secara ekonomi. “Kami harus memaksimalkan potensi yang ada pada desa ini dan mengubah mindset masyarakat desa agar tidak lagi berpikir bahwa Ibu Kota adalah tempat untuk mencari uang,” kata Maya.
Widi bersyukur lahirnya kerja sama antara SI dan Bank HSBC ini. “Akhirnya kami menemukan partner yang sesuai dengan visi dan misi SI,” ujarnya.
Peluncuran Ciwidey Pintar dilakukan secara sederhana di pekarangan Rumah Pintar di kampung Gambung. Acara dihadiri oleh Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Wahyudin Zarkasyi, dan Puteri Indonesia 2011 Maria Selena.
Wahyudi, dalam kesempatan itu, menyampaikan rasa terima kasihnya kepada SI dan Bank HSBC. Sebab, mereka telah melakukan sebuah gerakan yang sangat membantu Jawa Barat dalam mengembangkan pendidikan di desa-desa. “Kegiatan seperti ini memang harus sebanyak mungkin dilakukan. Sebab, pendidikan adalah satu-satunya cara untuk mengubah kehidupan keluarga,” katanya.
Sementara itu Maria Selena berharap dengan adanya kegiatan ini anak-anak di desa dapat lebih mengembangkan diri dalam hal pendidikan, kesenian, dan olahraga. “Agar banyak yang dapat mengharumkan nama bangsa,” ujarnya.
Lewat Rumah Pintar yang dirintis SI, Riswati belajar mengelola kebun dan mengembangkan usaha perkebunan yang ia miliki. “Saya diajarkan cara menanam yang baik, menetapkan kualitas tanaman, dan dibantu dalam mengembangkan pasar,” kata Riswati.
Ia mengakui pada awalnya sebagian besar warga kampung merasa tidak nyaman dengan kedatangan Rumah Pintar di kampung Gambung. Sebab, anak-anak mereka lebih banyak bermain ke Rumah Pintar daripada ke sekolah dan di rumah. Hal ini diakui Widi. "Tapi, kami lakukan pendekatan yang intensif dan menjelaskan tujuan kami,” ujarnya.
Kini, setelah melihat kesuksesan yang diraih Riswati dan 15 petani lainnya, warga Desa Mekarsari sangat mendukung program Rumah Pintar. Saat ini Riswati memiliki kebun seluas 5 hektare yang ia tanami berbagi macam sayuran. “Di kebun saya sekarang, selain sayuran lokal, juga ada sayuran eksklusif, seperti paprika, labu Jepang, dan banyak lagi,” kata Riswati semringah.
Semua itu ia dapatkan setelah mendapat pelatihan yang diadakan SI sejak ia bergabung dua tahun lalu. “Saya diberikan kesempatan magang di berbagai tempat. Dari sana saya belajar cara mengembangkan bisnis, menanam yang benar, dan menjaga mutu kualitas hasil tanam,” kata Riswati.
Di desa seluas 5.306 hektare, yang 68 persen wilayahnya merupakan hutan, kini Riswati menjabat sebagai Ketua Gabungan Kelompok Tani. Ia membawahkan sekitar 150 petani dan mengelola 60 hektare kebun kemitraan. “Kebun itu tersebar di Indramayu, Garut, dan kabupaten-kabupaten lain,” katanya.
Dengan produksi yang terus meningkat, sekarang Riswati dapat memasok hingga 2 ton sayuran setiap hari. “Tergantung pada permintaan, tapi rata-rata segitu untuk beragam toko sayur dan retail,” ujarnya. Dengan meningkatnya bisnis yang ia kelola, kini Riswati telah mempekerjakan sekitar 26 orang dan mendapat omzet Rp 50-70 juta setiap bulan.
“Alhamdullilah dengan bantuan semua pihak saya bisa berkembang seperti sekarang. Warga desa juga mulai mengubah pemikirannya dan lebih mementingkan pendidikan,” ujar Riswati.
NANDA SUGIONO
Mengawali bisnis setelah keluar dari salah satu universitas di Garut, Riswati berusaha mencari penghasilan sendiri untuk membantu kedua orang tuanya. “Saya keluar karena ingin menikah,” katanya tertawa. Dengan modal Rp 75 ribu dia mulai menanam nangka, yang buahnya dijual kepada orang-orang di sekitar desanya.
“Waktu itu belum ada uang untuk membuka lahan,” katanya. Setelah memiliki tabungan sendiri, Riswati membeli sepetak lahan dengan modal Rp 3 juta yang kemudian ia tanami bermacam sayuran. Awalnya cuma sayuran lokal. Ia belum mengenal sayuran dengan bibit impor. Riswati juga belum tahu bagaimana cara bercocok tanam yang benar.
Setelah 3 tahun berjalan usaha bercocok tanam Riswati mulai berkembang. Saat itu dia mempekerjakan 4 orang untuk membantu mengelola kebun yang ia miliki. Waktu itu Riswati memiliki omzet hingga Rp 20 juta setiap bulan. “Dari pasar induk dan tradisional saya mendapat omzet tertinggi hingga Rp 10-20 juta per bulan,” katanya.
Namun pemasukan yang diterima Riswati tidak cukup untuk mengelola satu kebun, pekerja, dan menjadi mata pencarian untuk hidup sehari-hari. “Selain sulit, hama dan gagal panen juga sangat mengganggu,” katanya.
Riswati mengaku saat itu dia hampir putus asa mengembangkan kebunnya. “Lama-kelamaan merugi, saya cukup putus asa,” katanya. Namun pada 2006 sekelompok mahasiswa dari Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB) berkunjung ke desa Mekarsari untuk berbagi ilmu kepada penduduk desa.
Adalah Adityo Wicaksono, Siti Ruby Aliya Rajasa, dan Mandala Widi Muchlis yang memprakarsai gerakan tersebut, yang kemudian dikenal dengan Satoe Indonesia (SI). “Satoe Indonesia adalah gerakan kepemudaan yang didirikan oleh mahasiswa SBM ITB dan para alumnus,” kata Widi.
Dengan bekal ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan di bangku kuliah, Widi dan kawan-kawan berusaha membantu warga desa Mekarsari dalam mengembangkan potensi yang mereka miliki. “Kami fokus pada pengembangan bisnis dan pendidikan,” kata Widi.
Setelah setahun melakukan survei, ia menjelaskan, pada 2007, SI meluncurkan program pertamanya, yaitu mobil pintar. Minibus yang disulap menjadi perpustakaan berjalan ini mengelilingi Desa Mekarsari dan sekitarnya setiap hari. Membawa ratusan buku hasil sumbangan berbagai pihak dan pemerintah, mobil ini ramai dikunjungi anak-anak desa.
“Respons mobil pintar ini positif, kemudian kami lanjutkan dengan membangun rumah pintar di dua kampung,” kata Widi. Saat ini rumah pintar sudah dibangun di dua kampung, yaitu kampung Papakmanggu dan Gambung. Rumah pintar ini tidak hanya tempat belajar bagi anak-anak, tapi juga orang tua mereka.
“Di sini kami mengajarkan semua pelajaran yang anak-anak dapat di sekolah, lalu menambahnya dengan permainan, bahasa Inggris, Internet, soft skill, dan proses belajar-mengajar yang menyenangkan,” kata Adityo. Sedangkan untuk orang tuanya Adityo dan kawan-kawan mengajarkan cara berbisnis dan mengembangkan usaha.
Manfaat rumah pintar diakui Resti. “Di sini belajarnya menyenangkan. Saya jadi bisa bahasa Inggris, pakai Internet, dan membuka wawasan," kata gadis 12 tahun ini, "Sekarang saya mau melanjutkan pendidikan hingga lulus kuliah.”
Tahun ini SI bekerja sama dengan Bank HSBC meluncurkan program Ciwidey Pintar pada Sabtu, 10 Maret 2012. “Program ini adalah salah satu bentuk dari corporate social responbility yang bertujuan untuk mengatasi kurangnya sarana pendidikan pada usia dini,” ujar Head of Communications & Corporate Sustainability HSBC Indonesia, Maya Rizano, saat peluncuran Ciwidey Pintar di kampung Gambung.
“HSBC memiliki program HSBC Future First yang berfokus pada pendidikan dan pengembangan bisnis yang sudah dijalankan dari 2006 di berbagai negara. Sekarang kami lakukan hal tersebut di Ciwidey,” ujar Maya.
HSBC berharap, dengan program ini warga Ciwidey dan sekitarnya dapat berkembang dan mandiri secara ekonomi. “Kami harus memaksimalkan potensi yang ada pada desa ini dan mengubah mindset masyarakat desa agar tidak lagi berpikir bahwa Ibu Kota adalah tempat untuk mencari uang,” kata Maya.
Widi bersyukur lahirnya kerja sama antara SI dan Bank HSBC ini. “Akhirnya kami menemukan partner yang sesuai dengan visi dan misi SI,” ujarnya.
Peluncuran Ciwidey Pintar dilakukan secara sederhana di pekarangan Rumah Pintar di kampung Gambung. Acara dihadiri oleh Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Wahyudin Zarkasyi, dan Puteri Indonesia 2011 Maria Selena.
Wahyudi, dalam kesempatan itu, menyampaikan rasa terima kasihnya kepada SI dan Bank HSBC. Sebab, mereka telah melakukan sebuah gerakan yang sangat membantu Jawa Barat dalam mengembangkan pendidikan di desa-desa. “Kegiatan seperti ini memang harus sebanyak mungkin dilakukan. Sebab, pendidikan adalah satu-satunya cara untuk mengubah kehidupan keluarga,” katanya.
Sementara itu Maria Selena berharap dengan adanya kegiatan ini anak-anak di desa dapat lebih mengembangkan diri dalam hal pendidikan, kesenian, dan olahraga. “Agar banyak yang dapat mengharumkan nama bangsa,” ujarnya.
Lewat Rumah Pintar yang dirintis SI, Riswati belajar mengelola kebun dan mengembangkan usaha perkebunan yang ia miliki. “Saya diajarkan cara menanam yang baik, menetapkan kualitas tanaman, dan dibantu dalam mengembangkan pasar,” kata Riswati.
Ia mengakui pada awalnya sebagian besar warga kampung merasa tidak nyaman dengan kedatangan Rumah Pintar di kampung Gambung. Sebab, anak-anak mereka lebih banyak bermain ke Rumah Pintar daripada ke sekolah dan di rumah. Hal ini diakui Widi. "Tapi, kami lakukan pendekatan yang intensif dan menjelaskan tujuan kami,” ujarnya.
Kini, setelah melihat kesuksesan yang diraih Riswati dan 15 petani lainnya, warga Desa Mekarsari sangat mendukung program Rumah Pintar. Saat ini Riswati memiliki kebun seluas 5 hektare yang ia tanami berbagi macam sayuran. “Di kebun saya sekarang, selain sayuran lokal, juga ada sayuran eksklusif, seperti paprika, labu Jepang, dan banyak lagi,” kata Riswati semringah.
Semua itu ia dapatkan setelah mendapat pelatihan yang diadakan SI sejak ia bergabung dua tahun lalu. “Saya diberikan kesempatan magang di berbagai tempat. Dari sana saya belajar cara mengembangkan bisnis, menanam yang benar, dan menjaga mutu kualitas hasil tanam,” kata Riswati.
Di desa seluas 5.306 hektare, yang 68 persen wilayahnya merupakan hutan, kini Riswati menjabat sebagai Ketua Gabungan Kelompok Tani. Ia membawahkan sekitar 150 petani dan mengelola 60 hektare kebun kemitraan. “Kebun itu tersebar di Indramayu, Garut, dan kabupaten-kabupaten lain,” katanya.
Dengan produksi yang terus meningkat, sekarang Riswati dapat memasok hingga 2 ton sayuran setiap hari. “Tergantung pada permintaan, tapi rata-rata segitu untuk beragam toko sayur dan retail,” ujarnya. Dengan meningkatnya bisnis yang ia kelola, kini Riswati telah mempekerjakan sekitar 26 orang dan mendapat omzet Rp 50-70 juta setiap bulan.
“Alhamdullilah dengan bantuan semua pihak saya bisa berkembang seperti sekarang. Warga desa juga mulai mengubah pemikirannya dan lebih mementingkan pendidikan,” ujar Riswati.
NANDA SUGIONO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar